Jumat, 18 Agustus 2017
Mengulik Cerita si Lurik
Lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong. Dan beberapa situs peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik sudah dikenal sebagai karya tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lampau, dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang menggambarkan seorang ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya. Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam salah satu relief Candi Boro budur yang menggambarkan orang yang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik .
Pada awalnya, motif lurik masih sangat sederhana, dibuat dalam warna yang terbatas, yaitu hitam, putih atau kombinasal antarkeduanya. Pada jaman dahulu proses pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan bahan yaitu benang (lawe). Benang ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna dominan hitam dan putih. Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan menggunakan pewarna tradisional, yaitu yang bernama Tarum) dan dari kulit batang mahoni. Hasil rendaman daun pohon Tom menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang mahoni menghasilkan warna coklat.
Sebelum ditenun, benang dicuci berkali-kali, kemudian dipukul-pukul hingga lunak (dikemplong), setelah itu dijemur, lalu dibaluri nasi dengan menggunakan kuas yang terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan atau benang ini kaku, kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali dan benang siap untuk ditenun. Dahulu, alat yang digunakan untuk menenun dikenal dua macam alat, yaitu alat tenun bendho dan alat tenun gendong. Adapun alat tenun bendho terbyat dari bambu atau batang kayu, biasanya digunakan untuk membuat stagen. Stagen yaitu ikat pinggang dari tenunan benang yang sangat panjang dan digunakan untuk pengikat kain (jarik) oleh para wanita Jawa. Alat tenun ini digunakan dengan posisi berdiri. Disebut sebagai alat tenun bendho karena alat yang digunakan untuk merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sedangkan alat tenun gendong digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar, maupun jarik (kain panjang). Disebut demikian karena salah satu bagiannya diletakkan di belakang pinggang, sehingga tampak seperti digendong. Dalam proses pembuatan kainnya, penenun dalam posisi duduk memangku alat tenun tersebut.
Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh semua orang, sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya, atau tapih/nyamping/jarik (kain untuk bawahan). Untuk pria, sebagai bahan baju pria, di Solo disebut dengan beskap, sedangkan di Yogyakarta dinamakan dengan surjan. Selain itu, lurik juga dibuat selendang (jarik gendong) yang biasanya dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar untuk menggendong tenggok (wadah yang terbuat dari anyaman bambu), terutama di daerah Solo dan Klaten Jawa Tengah. Selain dibuat untuk bahan pakaian ataupun selendang, yang lebih penting lagi bahwa kain lurik ini dahulu digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain seperti ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar